(sumber: kompasiana.com)
Pendidikan profesi guru (PPG) , sebuah program baru
dari kementrian pendidikan nasional. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
bahwa setiap guru harus menempuh pendidikan profesi guru guna meningkatkan
kompetensi pendidik. Belum lama ini sebuah wacana yang bersumber dari portal
dikti (dikti.go.id) mengeluarkan wacana bahwa salah satu syarat menjadi
guru PNS ialah dengan mengantongi sertifikat lulus PPG. Lulusan sarjana
pendidikan (baca SP.d) akan bersaing dengan sarjana ilmu murni. Kebijakan
tersebut diambil atas dasar pertimbangan bahwa jika lulusan sarjana ilmu murni
memiliki potensi dalam artian ilmunya lebih tinggi dari pada sarjana pendidikan
kenapa tidak boleh menjadi guru, semata-mata tujuan kebijakan tersebut demi
memajukan pendidikan di Indonesia dan mewujudkan generasi cerdas dan rendahnya
kualitas guru indonesia saat ini.
Sebenarnya ada beberapa hal yang patut dikritisi dari
kebijakan-kebijakan diatas. Pertama kebijakan sertifikat PPG sebagai salah satu
syarat CPNS harus diimplementasikan dengan lebih bijak. Sebenarnya tujuannya
baik dengan melakukan penyaringan guru CPNS yang berkualitas, guru-guru
dianggap profesional setelah mendapatkan pengakuan melalui sertifikat PPG. Hal
tersebut diilhami dari kebijakan untuk menjadi dokter PNS harus mengikuti
pendidikan profesi dokter sebelum ia bisa diangkat menjadi PNS. Tapi ada yang
perlu dikritisi dari program pendidikan profesi untuk guru dan calon guru.
Berdasarkan informasi dari dosen saya untuk menempuh pendidikan profesi harus
membayar dengan jumlah yang cukup besar, kurang lebih 10juta. Sungguh bukan
jumlah yang kecil!ini seperti menyogok menjadi PNS! Contoh kecil, ialah ketika
seseorang baru lulus S1, ada kesempatan menjadi PNS tapi dikarenakan ia belum
mampu menempuh PPG karena biaya yang besar, ia bertahan menjadi guru GTT. Jika
ia menunggu dengan mengumpulkan uang sebagai GTT, pertanyaan saya mau sampai
kapan? Berapa sih gaji seorang GTT? Apalagi PPG tidak dilaksanakan setiap
tahun. Maka hilanglah kesempatannya. Berbeda dengan seseorang yang memiliki
latar belakang keluarga kaya, orang tua bisa dengan mudahnya membiayai PPG
tersebut. Padahal belum tentu yang kaya lebih berkualitas. Lagi pula yang
namanya PPG kan untuk meningkatkan kualitas guru, jika tujuannya demikian
kenapa diberatkan dengan beban biaya yang tidak sedikit? Maka hal ini tidak
lebih sebagai “sogokan”, yang kaya yang PPG. Memang ada program SM-3T, dimana
calon guru/guru yang mengikuti program tersebut kelak bisa mendapatkan PPG
secara gratis tapi kuota SM-3T itu terbatas. Ingin mengikuti PPG saja
pengorbanannya besar, belum nanti masih seleksi PNS dan tuntutan yang semakin
berat menjadi guru. Pastinya akan semakin banyak kesejahteraaan guru yang
mengantung.
Kedua, para sarjana non-pendidikan bisa menjadi guru
hanya dengan satu tahun mengikuti PPG. Saya bilang ini sebuah ketidakadilan dan
kebijakan yang tidak esensial dengan hakekat profesi guru. Hakekat seorang guru
bukan hanya sekedar mengajar tapi mendidik, menguasai empat kompetensi
(pedagogik, sosial, personal, dan profesional). Seorang sarjana pendidikan
harus menempuh 4 tahun untuk menguasai 4 kompetensi tersebut, itu saja masih
perlu diasah dan belajar. Bagaimana mungkin hanya dengan 1 tahun PPG para
sarjana ilmu murni “pantas” dibandingkan dengan sarjana pendidikan? Lalu apa
arti sarjana pendidikan dan buat apa ada jurusan kependidikan? Ini bukan soal
sarjana pendidikan tidak mampu bersaing tapi lebih pada hakekat pendidikan.
Seorang guru tidak hanya dituntut bisa mengajar tapi mendidik, mendidik dan dan
mengajar adalah dua hal yang berbeda. Semua orang bisa mengajar, asal ada buku
panduan, tapi tidak semua orang bisa mendidik. Saya akui secara ilmu/materi
pelajaran mungkin sarjana non-kependidikan, ilmunya lebih mendalam tapi apa
mereka tahu bagaimana membuat Rencana pelaksanaa pembelajaran, mengunakan
pembelajaran yang tripel multi (multi media, sumber, dan metode), pembelajaran
inovatif, karakteristik perkembangan peserta didik, memahami hakikat sebagai
seorang guru ialah pendidik bukan pengajar yang hanya mentransfer ilmu tapi
motivator, fasilitator, dan transformator. Pendidik bukan hanya mengemban tugas
menjadikan peserta didik yang cerda, juga berkarakter. Jika sarjana pendidikan
harus memahami hal-hal tersebut selama 4 tahun, apa adil mereka sarjana
non-kependidikan dengan PPG 1 tahun pantas disebut sebagai guru? Jika alasan
pemerintah adalah kualitas sarjana pendidikan, maka PPG merupakan jalan yang
seharusnya memperbaiki kekurangan yang ada, bukan meragukan kualitas sarjana
kependidikan di negeri sendiri. Karena banyak fakta dilapangan banyak guru yang
pandai dalam penguasan materi tapi ia kurang “pandai” dalam pembelajaran
sehingga banyak murid merasa tidak mendapatkan ilmunya. Jika kebijakan ini
tidak dikritisi lagi, apa bedanya PPG dengan akta 4? Guru-guru diangkat dari
sarjana ilmu murni yang tidak tahu hakekat pendidikan itu sendiri. Hanya
judulnya yang beda tapi esensinya hampir sama.
Ada wacana bahwa guru-guru yang lulus PPG kelak jika
menjadi PNS akan secara langsung mendapat tunjangan sertifikasi (baca: gaji
doble). Lagi-lagi kebijakan yang justru memicu “penyimpangan”. Adanya wacana
tersebut memicu persaingan yang ketat untuk mengkuti PPG dan menjadi PNS, maka
tidak dipungkiri penyimpangan-penyimpangan besar kemungkinan terjadi. Seperti
yang sudah-sudah KKN (kolisi, korupsi dan nepotisme), pastinya sudah banyak
yang mendengar “PNS jalur uang” alias nyogok. Ketika uang berbicara,
judulnya!
Seharusnya pemerintah bisa menempatkan kebijakan ini
ditempat yang seharusnya. Bolehlah untuk mengikuti PPG harus mengeluarkan
pengorbanan tapi bijaknya biayanya jangan sebesar itu. Yang kedua, kembali pada
hakekat PPG sebagai sarana meningkatkan kualitas guru bukan meragukan potensi
guru maupun calon guru (sarjana pendidikan). Para sarjana pendidikan ditempa
selama 4 tahun bukan hanya untuk sekedar menguasai materi tapi mereka dituntut
menjadi pendidik yang profesional dan berkarakter, bagaimana mendidik peserta
didik sesuai tingkat perkembangannya. Jelas sarjana ilmu murni tidak bisa
dibandingkan dengan sarjana pendidikan untuk menjadi seorang guru. Ada banyak
pembanding jika dikupas satu persatu yang mana sarjana pendidikan tidak bisa
digantikan posisinya dan disetarakan denga sarjana non-kependidikan.
No comments:
Post a Comment