Saturday 8 December 2012

Pendidikan Profesi Guru Bukan Alat Sertifikasi Guru!


(sumber: kompasiana.com)

Pendidikan profesi guru (PPG) , sebuah program baru dari kementrian pendidikan nasional. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa setiap guru harus menempuh pendidikan profesi guru guna meningkatkan kompetensi pendidik. Belum lama ini sebuah wacana yang bersumber dari portal dikti  (dikti.go.id) mengeluarkan wacana bahwa salah satu syarat menjadi guru PNS ialah dengan mengantongi sertifikat lulus PPG. Lulusan sarjana pendidikan (baca SP.d) akan bersaing dengan sarjana ilmu murni. Kebijakan tersebut diambil atas dasar pertimbangan bahwa jika lulusan sarjana ilmu murni memiliki potensi dalam artian ilmunya lebih tinggi dari pada sarjana pendidikan kenapa tidak boleh menjadi guru, semata-mata tujuan kebijakan tersebut demi memajukan pendidikan di Indonesia dan mewujudkan generasi cerdas dan rendahnya kualitas guru indonesia saat ini.


Sebenarnya ada beberapa hal yang patut dikritisi dari kebijakan-kebijakan diatas. Pertama kebijakan sertifikat PPG sebagai salah satu syarat CPNS harus diimplementasikan dengan lebih bijak. Sebenarnya tujuannya baik dengan melakukan penyaringan guru CPNS yang berkualitas, guru-guru dianggap profesional setelah mendapatkan pengakuan melalui sertifikat PPG. Hal tersebut diilhami dari kebijakan untuk menjadi dokter PNS harus mengikuti pendidikan profesi dokter sebelum ia bisa diangkat menjadi PNS. Tapi ada yang perlu dikritisi dari program pendidikan profesi untuk guru dan calon guru. Berdasarkan informasi dari dosen saya untuk menempuh pendidikan profesi harus membayar dengan jumlah yang cukup besar, kurang lebih 10juta. Sungguh bukan jumlah yang kecil!ini seperti menyogok menjadi PNS! Contoh kecil, ialah ketika seseorang baru lulus S1, ada kesempatan menjadi PNS tapi dikarenakan ia belum mampu menempuh PPG karena biaya yang besar, ia bertahan menjadi guru GTT. Jika ia menunggu dengan mengumpulkan uang sebagai GTT, pertanyaan saya mau sampai kapan? Berapa sih gaji seorang GTT? Apalagi PPG tidak dilaksanakan setiap tahun. Maka hilanglah kesempatannya. Berbeda dengan seseorang yang memiliki latar belakang keluarga kaya, orang tua bisa dengan mudahnya membiayai PPG tersebut. Padahal belum tentu yang kaya lebih berkualitas. Lagi pula yang namanya PPG kan untuk meningkatkan kualitas guru, jika tujuannya demikian kenapa diberatkan dengan beban biaya yang tidak sedikit? Maka hal ini tidak lebih sebagai “sogokan”, yang kaya yang PPG. Memang ada program SM-3T, dimana calon guru/guru yang mengikuti program tersebut kelak bisa mendapatkan PPG secara gratis tapi kuota SM-3T itu terbatas. Ingin mengikuti PPG saja pengorbanannya besar, belum nanti masih seleksi PNS dan tuntutan yang semakin berat menjadi guru. Pastinya akan semakin banyak kesejahteraaan guru yang mengantung.
Kedua, para sarjana non-pendidikan bisa menjadi guru hanya dengan satu tahun mengikuti PPG. Saya bilang ini sebuah ketidakadilan dan kebijakan yang tidak esensial dengan hakekat profesi guru. Hakekat seorang guru bukan hanya sekedar mengajar tapi mendidik, menguasai empat kompetensi (pedagogik, sosial, personal, dan profesional). Seorang sarjana pendidikan harus menempuh 4 tahun untuk menguasai 4 kompetensi tersebut, itu saja masih perlu diasah dan belajar. Bagaimana mungkin hanya dengan 1 tahun PPG para sarjana ilmu murni “pantas” dibandingkan dengan sarjana pendidikan? Lalu apa arti sarjana pendidikan dan buat apa ada jurusan kependidikan? Ini bukan soal sarjana pendidikan tidak mampu bersaing tapi lebih pada hakekat pendidikan. Seorang guru tidak hanya dituntut bisa mengajar tapi mendidik, mendidik dan dan mengajar adalah dua hal yang berbeda. Semua orang bisa mengajar, asal ada buku panduan, tapi tidak semua orang bisa mendidik. Saya akui secara ilmu/materi pelajaran mungkin sarjana non-kependidikan, ilmunya lebih mendalam tapi apa mereka tahu bagaimana membuat Rencana pelaksanaa pembelajaran, mengunakan pembelajaran yang tripel multi (multi media, sumber, dan metode), pembelajaran inovatif, karakteristik perkembangan peserta didik, memahami hakikat sebagai seorang guru ialah pendidik bukan pengajar yang hanya mentransfer ilmu tapi motivator, fasilitator, dan transformator. Pendidik bukan hanya mengemban tugas menjadikan peserta didik yang cerda, juga berkarakter. Jika sarjana pendidikan harus memahami hal-hal tersebut selama 4 tahun, apa adil mereka sarjana non-kependidikan dengan PPG 1 tahun pantas disebut sebagai guru? Jika alasan pemerintah adalah kualitas sarjana pendidikan, maka PPG merupakan jalan yang seharusnya memperbaiki kekurangan yang ada, bukan meragukan kualitas sarjana kependidikan di negeri sendiri. Karena banyak fakta dilapangan banyak guru yang pandai dalam penguasan materi tapi ia kurang “pandai” dalam pembelajaran sehingga banyak murid merasa tidak mendapatkan ilmunya. Jika kebijakan ini tidak dikritisi lagi, apa bedanya PPG dengan akta 4? Guru-guru diangkat dari sarjana ilmu murni yang tidak tahu hakekat pendidikan itu sendiri. Hanya judulnya yang beda tapi esensinya hampir sama.
Ada wacana bahwa guru-guru yang lulus PPG kelak jika menjadi PNS akan secara langsung mendapat tunjangan sertifikasi (baca: gaji doble). Lagi-lagi kebijakan yang justru memicu “penyimpangan”. Adanya wacana tersebut memicu persaingan yang ketat untuk mengkuti PPG dan menjadi PNS, maka tidak dipungkiri penyimpangan-penyimpangan besar kemungkinan terjadi. Seperti yang sudah-sudah KKN (kolisi, korupsi dan nepotisme), pastinya sudah banyak yang mendengar “PNS jalur uang” alias nyogok. Ketika uang berbicara, judulnya!
Seharusnya pemerintah bisa menempatkan kebijakan ini ditempat yang seharusnya. Bolehlah untuk mengikuti PPG harus mengeluarkan pengorbanan tapi bijaknya biayanya jangan sebesar itu. Yang kedua, kembali pada hakekat PPG sebagai sarana meningkatkan kualitas guru bukan meragukan potensi guru maupun calon guru (sarjana pendidikan). Para sarjana pendidikan ditempa selama 4 tahun bukan hanya untuk sekedar menguasai materi tapi mereka dituntut menjadi pendidik yang profesional dan berkarakter, bagaimana mendidik peserta didik sesuai tingkat perkembangannya. Jelas sarjana ilmu murni tidak bisa dibandingkan dengan sarjana pendidikan untuk menjadi seorang guru. Ada banyak pembanding jika dikupas satu persatu yang mana sarjana pendidikan tidak bisa digantikan posisinya dan disetarakan denga sarjana non-kependidikan.

No comments:

Post a Comment