Liang
Bua merupakan peninggalan pra sejarah di Indonesia. Gua ini adalah salah
satu dari banyak gua karst di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di Indonesia.
Gua ini terletak di Dusun Rampasasa, Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten
Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. dan merupakan tempat penemuan makhluk
mirip manusia (hominin) baru yang dinamakan Homo floresiensis pada tahun
2001. Liang Bua dalam bahasa Manggarai berarti “gua/lubang sejuk”
Situs
Gua Liang Bua adalah salah satu situs arkeologi penting dunia. Di situs inilah
ditemukan fosil Homo Floresiensis atau Manusia Flores. Tinggi badan
manusia Flores sekitar 100 cm dan beratnya hanya 25 kg.
Eskavasi Situs Liang Bua |
Tengkorak
manusia kerdil ini ditemukan seukuran buah jeruk dan diperkirakan hidup 13.000
tahun lalu. Mereka hidup bersama-sama dengan gajah-gajah pigmi dan kadal-kadal
raksasa seperti komodo.
Gua
Liang Boa terletak di Pulau Flores, tepatnya di Dusun Rampasasa, Desa Liang
Bua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Secara
geologi, gua ini merupakan bentukan endokars yang berkembang pada batu gamping
yang berselingan dengan batu gamping pasiran. Batuan gamping ini diperkirakan
berasal dari periode Miosen tengah atau sekitar 15 juta tahun yang lampau.
Kawasan kars di NTT ini, sebagaimana kawasan kars di tempat lain di Indonesia, juga
memiliki ciri-ciri khusus yang berlainan dengan kawasan kars lainnya.
Liang
Bua dan gua-gua lainnya sekawasan telah digali secara arkeologi sejak tahun
1930-an. Temuan-temuan dari masa ini dibawa ke Leiden, Belanda. Penggalian dan
penelitian dilanjutkan oleh tim pimpinan H.R. van Heekeren pada tahun 1950-an,
lalu diteruskan oleh Th. Verhoeven, seorang pendeta Katolik. Timnya menemukan
antara lain rangka sangat pendek (tetapi tidak katai) di Liang Toge, di samping
tulang-tulang di Liang Bua, Liang Momer, dan lain-lain. Kerangka-kerangka ini
adalah H. sapiens.
Para
arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun
1976 sudah melakukan penelitian secara intensif di Liang Bua. Menjelang akhir
tahun 1970-an, tim yang diketuai Prof. Dr. Raden Panji Soejono itu bahkan telah
mendapatkan temuan “spektakuler” berupa tengkorak manusia dan kerangka tubuh
manusia dewasa. Bersamaan dengan itu ditemukan pula kuburan manusia purba,
lengkap dengan bekal kuburnya yang masih relatif utuh. Juga ditemukan lapisan
budaya berupa berbagai artefak yang diyakini sebagai sisa pendukung keberadaan
mereka.
Hanya
saja, ketika itu para arkeolog Indonesia belum memiliki alat dan kemampuan yang
memadai untuk membuat suatu kesimpulan yang agak menyeluruh. Hanya dikatakan
bahwa ras manusia yang tinggal di sana paling tidak berasal dari sekitar 10.000
tahun lalu.
Karena
ketiadaan biaya, penelitian pun sempat terhenti. Tahun-tahun berikutnya, hingga
tahun 1989, penelitian cenderung bersifat sporadis. “Untuk melakukan penelitian
di Liang Bua butuh biaya cukup besar. Dengan anggota tim sebanyak 18 orang,
ketika itu kami harus naik Dakota ke Flores, setelah singgah di Denpasar dan
Kupang. Belum lagi biaya untuk kebutuhan lain,” ujar Soejono.
Di
tengah ketiadaan dana, tahun 2001, datang tawaran kerja sama dari Australia.
Mike Morwood dari University of New England memimpin tim dari Australia,
sedangkan RP Soejono bertindak sebagai ketua tim dari Puslit Arkenas. Setelah
melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil
mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua!
Peneliti
selanjutnya yang melakukan penelitian di sana adalah A.A. Sukadana, ahli
antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, pada tahun 1960-an menemukan
pula sisa-sisa manusia termasuk rahang bawah, di Liang Bua. Dari tahun
1978-1989, Prof. R. Panji Soejono menemukan antara lain tulang paha di Liang
Bua. Sisa-sisa kerangka dari periode awal hingga terakhir tersimpan di Leiden,
London, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan Flores. Penelitian selanjutnya
dihentikan karena tidak ada pendanaan. Penelitian baru berlanjut setelah ada
kerja sama antara Puslit Arkenas (dipimpin R.P. Soejono) dan Universitas New
England, Australia (dipimpin Mike Morwood).
Pada
bulan September 2003 ditemukan kerangka unik yang kemudian diidentifikasi
sebagai H. floresiensis. Bersamaan dengan manusia purba itu ditemukan
pula perkakas batu yang dikenal telah digunakan oleh Homo erectus
(seperti yang ditemukan di Sangiran) serta sisa-sisa tulang Stegodon
(gajah purba) kerdil, biawak raksasa, serta tikus besar.
Pra
Sejarah Indonesia
Indonesia
pada periode prasejarah mencakup suatu periode yang sangat panjang, kira-kira
sejak 1,7 juta tahun yang lalu, berdasarkan temuan-temuan yang ada. Pengetahuan
orang terhadap hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil hewan dan manusia
(hominid), sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan
perunggu), serta gerabah.
Secara
geologi, wilayah Indonesia modern merupakan pertemuan antara tiga lempeng
benua utama: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es
setelah berakhirnya Zaman Es, hanya 10.000 tahun yang lalu.
Pada
masa Pleistosen, ketika masih terhubung dengan Asia Daratan, masuklah pemukim
pertama. Bukti pertama yang menunjukkan penghuni pertama adalah fosil-fosil
Homo erectus manusia Jawa dari masa 2 juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan
sisa-sisa “manusia Flores” (Homo floresiensis) di Liang Bua, Flores, membuka
kemungkinan masih bertahannya H. erectus hingga masa Zaman Es terakhir.
Homo
sapiens pertama diperkirakan masuk ke Nusantara sejak 100.000 tahun yang lalu
melewati jalur pantai Asia dari Asia Barat, dan pada sekitar 50.000 tahun yang
lalu telah mencapai Pulau Papua dan Australia. Mereka, yang berciri rasial
berkulit gelap dan berambut ikal rapat (Negroid), menjadi nenek moyang penduduk
asli Melanesia (termasuk Papua) sekarang dan membawa kultur kapak lonjong
(Paleolitikum). Gelombang pendatang berbahasa Austronesia dengan kultur
Neolitikum datang secara bergelombang sejak 3000 SM dari Cina Selatan melalui
Formosa dan Filipina membawa kultur beliung persegi (kebudayaan Dongson).
Proses migrasi ini merupakan bagian dari pendudukan Pasifik. Kedatangan
gelombang penduduk berciri Mongoloid ini cenderung ke arah barat, mendesak
penduduk awal ke arah timur atau berkawin campur dengan penduduk setempat dan
menjadi ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara. Pendatang ini membawa
serta teknik-teknik pertanian, termasuk bercocok tanam padi di sawah (bukti
paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak kerbau, pengolahan perunggu dan
besi, teknik tenun ikat, praktek-praktek megalitikum, serta pemujaan roh-roh
(animisme) serta benda-benda keramat (dinamisme). Pada abad pertama SM sudah
terbentuk pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan kecil, dan sangat mungkin
sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat hubungan perniagaan.
Sumber
: wikipedia dan berbagai sumber lainnya
No comments:
Post a Comment